fbpx

Pertenunan Setia Cap Cili

The History of Gianyar Oldest Hand-Weaving Factory

Pertenunan Setia was founded by a Balinese couple, Ni Made Suwening and Pande Wayan Sira, in 1948. The couple's passion for Tenun fabrics led them to start Pertenunan Setia. Pande Wayan Sira focused on technical aspects and production, while Ni Made Suwening focused on overall business operations and crafting motifs and patterns. Their children also participated in the business, helping produce and distribute stocks and raw materials. In the 1960s, Pertenunan Setia made its first tenun fabrics brand named Cap Cili which was widely known by people. Cili is a symbol of Dewi Sri, The Goddess of Fertility, depicted as a woman with a pointed face. Therefore, Cap Cili increasingly recognized beyond Bali, and people recognized the hand-weaving industry located in the heart of Gianyar as Pertenunan Setia Cap Cili. Over the years, Pertenunan Setia Cap Cili has expanded its product line to include Kamen, cushion cover, table runner, Kimono, shirt, and bag made from Tenun fabrics.

One of Pertenunan Setia Cap Cili's most inspiring aspects is how it has impacted the local community. From its inception, the business has provided jobs and opportunities for the people of Gianyar and surrounding areas. At one point, this oldest tenun factory in Gianyar employed more than 200 workers from three to five villages. The Ministry of Women’s Affairs awarded Ni Made Suwening in 1989 for her notable contributions to the business and community, acknowledging her dedication and passion towards incrementing women's labor productivity. Pertenunan Setia Cap Cili aims to preserve and inherit the tradition of Wastra Bali so that it will not be forgotten. By staying true to its roots and embracing innovation, Pertenunan Setia Cap Cili has thrived, remaining relevant while honoring Bali's rich cultural heritage.

Pertenunan Setia didirikan oleh pasangan asal Bali, Ni Made Suwening dan Pande Wayan Sira, pada tahun 1948. Kecintaan pasangan ini terhadap kain Tenun menginspirasi mereka memulai Pertenunan Setia. Pande Wayan Sira fokus pada aspek teknis dan produksi, sedangkan Ni Made Suwening fokus pada operasional bisnis serta pembuatan motif dan pola. Anak-anak kedua pasangan ini juga berpartisipasi dalam bisnis tersebut, membantu memproduksi dan mendistribusikan stok dan bahan baku. Pada era tahun 1960, Pertenunan Setia memiliki jenama (merk) kain tenun ikat pertamanya bernama Cap Cili yang mulai dikenal orang, Cili merupakan lambang perwujudan dari Dewi Sri sebagai Dewi Kesuburan yang digambarkan sebagai perempuan bergelung dan berwajah lancip. Brand Cap Cili kian dikenal hingga di luar Bali dan orang-orang mengenal pertenunan yang terletak di jantung kota Gianyar ini sebagai Pertenunan Setia Cap Cili. Selama bertahun-tahun, Pertenunan Setia Cap Cili telah memperluas lini produknya yang meliputi selendang, kamen/kain sarung, sarung bantal, taplak meja, Kimono, kemeja, dan tas yang terbuat dari kain Tenun.

Salah satu aspek Pertenunan Setia Cap Cili yang paling menginspirasi adalah bagaimana sebuah pertenunan bisa memberikan dampak positif pada masyarakat sekitar. Sejak awal, bisnis keluarga ini telah membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan bagi masyarakat Gianyar dan sekitarnya. Pada satu titik, Pertenunan tertua di kota Gianyar ini telah mempekerjakan lebih dari 200 pekerja dari tiga hingga lima desa di sekitarnya. Pada tahun 1989, Kementerian Urusan Perempuan memberikan penghargaan kepada Ni Made Suwening atas sebagai apresiasi atas dedikasi dan semangatnya dalam meningkatkan produktivitas tenaga kerja perempuan. Pertenunan Setia Cap Cili memiliki misi untuk melestarikan dan mewariskan tradisi Wastra Bali agar tidak terlupakan. Dengan tetap menjaga aspek tradisional dan mengembangkannya dengan berbagai inovasi, Pertenunan Setia Cap Cili menjadi tetap relevan dengan menjaga warisan budaya Bali yang istimewa.

Our Inspiring Founder: Nini Cili

Ni Made Suwening, who is affectionately known as Nini Cili ("Nini" means 'grandmother' in Balinese), is the inspiring founder of Pertenunan Setia Cap Cili. She was born in Singaraja, Bali in 1920 and spent her youth as a nurse. After getting married, she began learning to weave "cagcag" woven fabric along with the women in the village where she lived. Nini Cili sold the fabric from market-to-market and village-to-village using various means of transportation such as walking, cycling, and even an old traditional transportation pulled by cow or buffalo known as "Cikar," which took her days to reach the destination.

Nini's passion for wastra Indonesia became one of the reasons that inspired Nini and her husband, Pande Wayan Sira, to buy a few non-machined looms and build their textile business from scratch in 1948.

Nini Cili's unwavering passion for wastra Indonesia inspired her to share her love for these traditional fabrics with others. Nini and her husband's hard work, dedication, and pure intentions to spread their passion for wastra led to the growth of their business, which eventually became Pertenunan Setia Cap Cili. Their journey was not easy, but Nini Cili and her husband's tenacity and perseverance helped them overcome any obstacles they encountered. Her determined passion for wastra Indonesia not only helped her build a successful business but also contributed to the preservation of Indonesia's rich cultural heritage.

During her lifetime, Nini Cili was known in her surrounding community as a Balinese woman who always wore kebaya and batik fabrics as her daily attire wherever she went, even until she passed away in 2005. Nini Cili left behind eight childrens, twenty grandchildrens, and several great-grandchildrens.

Ni Made Suwening atau akrab disapa Nini Cili (Nini sebutan untuk Nenek di Bali) adalah pendiri Pertenunan Setia Cap Cili yang menginspirasi. Lahir di Singaraja, pada tahun 1920, beliau menghabiskan masa mudanya sebagai seorang perawat kesehatan. setelah menikah, beliau bersama perempuan-perempuan di desa tempatnya tinggal mulai belajar menenun kain tenun cagcag dan menjualnya dari pasar ke pasar maupun dari desa ke desa, dari berjalan kaki, bersepeda, hingga menumpang Cikar (gerobak yang ditarik oleh sapi/lembu). Tidak jarang perjalanan Nini Cili memakan waktu seharian penuh.

Kecintaannya pada kain-kain tradisional menjadi salah satu faktor yang menginspirasi dirinya dan suami, Pande Wayan Sira, untuk memesan beberapa alat tenun (ATBM) dan memulai bisnis tekstil tradisional dari nol pada tahun 1948.

Semangat Nini Cili yang tak tergoyahkan terhadap Wastra Indonesia menginspirasinya untuk berbagi kecintaannya pada kain tradisional ini dengan orang lain. Kerja keras, dedikasi, dan niat murni Nini Cili dan suaminya untuk menyebarkan kecintaan mereka pada Wastra telah menghasilkan pertumbuhan bisnis yang pesat, hingga akhirnya menjadi Pertenunan Setia Cap Cili. Perjalanan mereka tidaklah mudah, namun keuletan dan kegigihan Nini membantu beliau dan suami mengatasi segala rintangan yang mereka temui. Semangatnya yang kuat untuk Wastra Indonesia tidak hanya membantunya membangun bisnis yang sukses tetapi juga berkontribusi pada pelestarian warisan budaya Indonesia yang kaya.

Semasa hidupnya, Nini dikenal di lingkungannya sebagai perempuan Bali yang selalu mengenakan kebaya dan kain batik kemanapun beliau pergi, bahkan sampai hari beliau berpulang pada tahun 2005, meninggalkan delapan anak, dua puluh cucu, dan belasan cicit.